Senin, 09 Januari 2012

Kuliah semester 5

Semester ini merupakan semester yang berat untukku daripada sebelumnya, tapi menyenangkan, dan berkesan.
Turun ke lapangan yang daerah pelosok, wawancara, menganalisis, hingga pembuatan peta bahasa-bahasa di Tangerang. It's so wonderfull.
Walau kami harus bedagang dan stress, tentunya, karena tugas kami tidak hanya penelitian membuat peta bahasa (penelitian dialektologi), melainkan juga penyusunan kamus. Kamus Kriminalitas.
It's hears scream.
Tugas ini juga merupakan tugas kelompok, tapi aku merasa ini cuma tugas kelompok 2 orang walau seharusnya dalam satu kelompok terdapat 4 orang.
Yah.. begitulah realita.. selalu tidak sesempurna khalayan dan impian.
But, nikmati aja.. Lakukan dengan hati, InsyaAllah akan lebih ringan terasa ^^.

Rindu akan masa-masa itu..

Selasa, 01 November 2011

WAYANG GOLEK PEMBAWA CINTAKU

            Hamparan sawah terbentang di seluruh penjuru yang terlihat dari balik kaca kereta api. Dengan diselingi pohon Jati, Karet, dan pisang, panorama pedesaan memikat mata Wulan. Sulit untuk Wulan alihkan matanya dari panorama itu. Seperti mendapatkan kembali jiwa yang telah lama menghilang dari dalam raga. Kini, Wulan telah memasuki daerah Jawa Tengah, tepatnya daerah Bumi Ayu. Hamparan sawah, barisan pegungan dengan tebing-tebing karang yang runcing menantang langit yang biru tersuguhkan untuk dinikmati para pendatang yang melintasi daerah tersebut. Tidak henti-hentinya Wulan menatap surga dunia itu.
Laju kereta terhenti dengan perlahan. Akhirnya, Wulan sampai di kampung halamannya, Jogyakarta. Hiruk pikuk manusia dengan segala aktivitas terdengar di telinganya. Bahasa Jawa khas Jogya menyapa telinga Wulan yang semakin menyakinkannya bahwa dia telah kembali ke kampung halamanku. Sudah lama Wulan tidak mendengar dialek ini. Bahasa Jawa Krama terdengar halus di telingnya.
Wulan mengedarkan pandangan. Dia membiarkan matanya menyapu segala penjuru stasiun untuk memutar kembali segala kenangan di stasiun ini. Barisan penumpang yang menunggu kereta mereka berjejer menyamping di peron-peron yang disediakan. Jejeran kafe yang terletak di sebelah pintu keluar masuk stasiun menjajakkan aneka makanan dan minuman. Pandangannya terhenti pada jam dinding yang dipasang di atas penyangga atap peron. Pukul lima sore, Wulan bergegas mencari musala yang ternyata letaknya tidak berubah sejak dia meninggalkan stasiun ini. Dia bergegas menuju musala sebelum waktu salat Ashar berlalu.
Kota Jogyakarta, masih sama seperti dulu. Padat dengan aktivitas warganya namun tetap menentramkan jiwa. Tulisan-tulisan aksara Jawa menghiasi papan-papan jalan. Tidak banyak perubahan yang terjadi di kota yang Wulan rindukan ini. Wulan semakin tidak sabar untuk sampai ke rumah dan bertemu dengan ibunya. Bagaimana rupanya sekarang? pikirnya. Wajah ibu yang teringat di benak Wulan adalah wajah yang teduh dengan khas lesung pipi yang terlihat saat senyuman terkembang di bibirnya.  Wulan juga rindu dengan suasana rumah yang telah ditempati semenjak dia dilahirkan di dunia ini.
Taksi yang membawanya memperlambat laju hingga berhenti setelah berbelok di tikungan menuju rumahnya. Surga dunia yang di dalamnya terdapat malaikat yang Wulan rindukan. Wulan telah berdiri di depan surga dunia yang lama telah Wulan tinggalkan. Belum Wulan memasuki surga dunia itu, sesosok perempuan anggun muncul dari dalamnya. Sosok itu menghentikan langkahnya karena melihat Wulan berdiri di rumahnya. Pekikan kejutan meluncur dari mulutnya. Tubuh Wulan dihempaskan ke dalam pelukannya yang erat menandakan kerinduan yang telah lama dipendamnya. Malaikat itu ialah ibu Wulan. Wanita yang sangat dicintai dan disayangi oleh Wulan. Air mata mengalir di pipinya dan membasahi baju Wulan. Wulan pun tidak sanggup menahan aliran air matanya yang menuruni pipi. Cukup lama mereka berpelukan di depan rumah hingga Wulan dibawanya masuk ke dalam.
***
Seminggu sudah Wulan di Jogya. Tapi baru Wulan belum juga puas mengelilingi kota Jogya ini. Museum Sonoboyo merupakan tempat yang telah Wulan kunjungi dalam seminggu ini. Mungkin penjaganya muak melihat mukWulan yang selalu muncul di hadapannya karena Wulan sering datang ke museum ini. Wulan tidak jemuh melihat koleksi wayang yang terdapat di museum ini. Melihat kemunculanku yang tiap hari ke museum ini, Bapak Sapto memberi tahu Wulan bahwa akan ada pergelaran wayang golek di gedung kesenian Jogyakarta minggu pukul delapan malam. Hati ini melayang mendengar kabar yang disampaikan Pak Sapto. Berkali-kali, Wulan menyampaikan ucapan terima kasih atas info yang dia sampaikan.
Pukul 19.30, Wulan telah berada di gedung kesenian Jogyakarta. Wulan tidak sabar menunggu hari ini tiba.Wulan juga tidak ingin datang terlambat sehingga tidak menyaksikan pergelaran wayang golek dari awal. Begitu loket dibuka, Wulan bergegas ke dalam untuk mencari tempat duduk yang strategis agar seluruh bagian panggung dapat terlihat dengan jelas.
Pergelaran wayang golek dimulai. Wulan menyaksikan pergelaran dengan penuh hikmat. Dia tidak hanya memerhatikan alur cerita wayang golek, tetapi juga dalang yang memainkan wayang dengan lincah dan terampil. Perhatian Wulan terus tertuju pada pergelaran. Dia tidak sadar bahwa ada seseorang yang memerhatikannya. Orang tersebut tidak hanya menaruh perhartian pada pergelaran wayang tetapi juga wanita yang duduk di sebelahnya yang memandang fokus wayang dan dalang yang membawakan pertunjukkan wayang. Dalam pikiran orang itu, dia terus bertanya-tanya hal apa yang membuat wanita ini sangat terpaku akan pergelaran wayang hingga mengacuhkan keberadaan di sekelilingnya. 
Pergelaran wayang golek telah usai. Wulan masih menancapkan pandangannya pada wayang dan dalang. Wulan bangun dari tempat duduknya menghampiri dalang untuk bercakap-cakap perihal kesenian wayang golek. Terlalu larut dalam percakapan dengan dalang, Wulan baru tersadar bahwa hari telah sangat larut. Jarum jam tangannya menunjukkan pukul dua dini hari. Wulan memohon pamit pada dalang dan meninggalkan gedung kesenian.
Wulan telah berjalan jauh tapi tidak ada taksi yang lewat. Dia mulai merasa ketakutan. Sebuah sedan silver melaju pelan di samping Wulan. Kaca mobil terbuka perlahan. Sesosok pria muda terlihat di dalamnya. Pria itu menawarkan tumpangan kepada Wulan. Justru hal ini membuat Wulan semakin takut. Sambil menatap tajam pria itu, Wulan berjalan mundur menjauhi sedan itu. Melihat tingkah Wulan, pria itu turun dari mobil. Dia mendekati Wulan, tapi Wulan semakin mempercepat langkah menjauhi pria tersebut bahkan lari sambil menjerit-jerit minta tolong. Pria muda itu mengejar Wulan dan berusaha menangkap Wulan. Apa daya usaha Wulan untuk berlari kencang tetap saja pria itu mampu menngejar dan menanngkap Wulan. Dalam dekapan pria itu, Wulan meronta-ronta melepaskan diri dari dekapan pria tersebut.
“Nona tenanglah, saya tidak akan menyakiti nona. Saya mohon tenanglah.” Pria itu meminta Wulan untuk berhenti berteriak.
“Siapa kamu? Asal peluk orang. Kalau macam-macam, saya teriak ini. Kamu piker aku takut apa sama kamu?” ujar Wulan yang sebenarnya sangat ketakutan. Pria itu menatap tangan Wulan yang gemeteran. Merasa kebohongannya telah terbongkar, Wulan berusaha melarikan diri kembali. Namun, dengan tangkas pria itu dapat menangkap Wulan. Wulan semakin histeris. Di tengah jerit Wulan, pria itu menjelaskan maksudnya. Dia hanya menolong Wulan yang terlihat kebingungan dan kesulitan untuk pulang karena tidak taksi yang melintasi daerah itu karena telah terlalu larut malam.
Wulan berusaha untuk memahami apa yang dia katakan. Pria itu memperkenalkan dirinya. Darma. Nama pria itu adalah Darma. Darma merupakan sesesok yang duduk di sebelah Wulan. Sosok yang memerhatikan tidak hanya pergelaran wyang golek berlangsung melainkan juga Wulan. Darma menawarkan diri untuk mengantar Wulan ke rumahnya. Dia menyakinkan Wulan bahwa dirinya tidak memiliki maksud jahat kepadanya. Akhirnya, Wulan menerima tawaran Darma walau hatinya masih menyimpan perasaan khawatir dan curiga.
Mereka telah sampai di rumah Wulan. Ternyata, Darma memang mengantar Wulan ke rumah dengan selamat. Kecurigaan Wulan pada Darma yang berniat buruk luluh. Kini, perasaan tidak enak karena menduga Darma yang tidak-tidak menyelimuti Wulan. Namun, dia terlalu gengsi untuk mengutarakannya kepada Darma. Wulan bergegas turun dan mengucapkan terima kasih kepada Darma karena telah memberikan tumpangan kepadanya. Darma membalasnya dengan senyuman manis. Tanpa sadar, wajah Wulan merona. Wulan mengalihkan wajahnya. Dia bergegas masuk ke dalam rumah dangan wajah memerah. Ada perasaan aneh membelesit ke dalam hatinya. Hal sama terjadi pada Darma. Wajah merona Wulan menarik hatinya dan membuatnya tidak bisa mennghilangkan wajah Wulan dalam benaknya.
Esoknya, Darma sering berkunjung ke rumah Wulan. Mereka membicarakan perihal wyang golek serta kesenian wayang lainnya. Darma semakin menyukai Wulan. Wanita ini memiliki kegemaran dan ketertarikan yang sama dengan dirinya. Dia belum pernah bertemu dengan wanita seperti Wulan sebelumnya. Wanita yang sangat menaruh perhatian khusus perihal wayang. Darma semakin ingin tahu mengenai diri Wulan. Ternyata, Wulan merupakan lulusan magister of art. Dia menyelesaikan magisternya di Belanda. Bahkan, Wulan bekerja di Belanda selama tiga tahun. Kini, dia kembali ke Indonesia karena tekah diterima di departemen kebudayaan. Wulan sedang menunggu surat keterangan (SK) penempatan turun. Sambil menunggu, dia menghabiskan waktu untuk membantu dan menemani ibunya yang tinggal sendirian di sini. Dia juga ingin melampiaskan kerinduannya akan kebudayaan jawa, khususnya wayang dengan menjelahi museum-museum dan gedung kesenian yang ada di Jogyakarta. Darma semakin menyukai Wulan. Bahkan, dia ingin menjadikan Wulan sebagai istrinya.
Wulan dan Darma saling mencintai. Walau tidak pernah sekali pun mengungkapkan perasaan mereka masing-masing, mereka mengetahui dan merasakannya. Wulan mengetahui kalau Darma mencintainya. Segala perhatian yang dia berikan semakin menyakinkan hati Wulan. Bergitupula sebaliknya, Darma juga mengetahui perasaan Wulan. Walau begitu, Darma akan tetap mengungkapkan perasaannya dan melamar Wulan untuk menjadi istrinya.
Sebulan sudah Wulan mengenal Darma. Dia baru menyadari dan merasakan hambatan cinta mereka. Perbedaan kenyakinan. Wulan merupakan seorang kristiani, sedangkan Darma adalah seorang muslim. Perbedaan yang awalnya mereka anggap bukanlah suatu perkara besar kini menjadi hal yang tidak bisa diabaikan. Wulan tidak peduli dengan perbedaan itu. Baginya, dia dan Darma sama, satu Tuhan walau dengan penyebutan nama yang berbeda.  Persinggungan-persinggungan mulai terjadi terlebih orang tua Darma tahu bahwa Wulan seorang kristiani. Pertentangan keras orang tua Darma membuat hati Wulan dan Darma sedih dan hancur. Mereka bertanya-tanya apa yang salah dari perbedaan. Bukankah perbedaan dapat menjadi warna yang indah. Dunia ini terbentuk dari pelbagai hal yang berbeda; tanah, air, udara. Semua saling berpadu bahkan saling melengkapi.  Bukankah Indonesia juga terdiri dari berbagai suku dan ras? Namun tetap saja disebut Indonesia. Lalu, jika perbedaan antara aku dangan Darma merupakan hal yang harus dipisahkan, buat apa adanya toleransi? Dan buat apa kita mempelajarinya di sekolah-sekolah bahkan hingga perguruan tinggi?!
Pertanyaan-pertanyaan itu mereka ajukan kepada orang tua mereka. Wulan dan Darma tidak bisa menerima alasan perbedaan kenyakinan membuat mereka tidak bisa menyatukan perasaan dan cinta mereka. Orang tua Wulan dan Darma bersikeras memisahkan hubungan di antara mereka. Berbagai cara mereka lakukan. Mulai dari orang tua Darma menyibukkan Darma dengan tanggung jawab perusahaan hingga menjodohkan Darma dengan gadis pilihan mereka yang membuat Darma marah dan kecewa kepada kedua orang tuanya.
Tidak jauh berbeda dengan Darma, Wulan mendapat pertentangan keras dari ibunya. Wulan dilema. Hatinya sangat sedih. Selama ini, Wulan selalu mendapat dukungan dari ibunya. Namun kali ini, ibunya tetap bersikeras tidak mengizinkan Wulan menikah dengan Darma. Wulan putus asa. Hatinya hancur melihat sikap ibunya yang tidak memberi dukungan atas pilihannya. Wulan tidak tahu harus melakukan apa untuk ibunya dapat menyetujui dirinya menikah dengan Darma.
Pergolakan terus terjadi. Hal ini semakin parah dengan maraknya tindakan anarkis suatu kelompok kepada kelompok lainnya. Orang tua mereka semakin berusaha memisahkan mereka. Wulan dan Darma bertemu untuk memecahkan persoalan ini. Tidak mudah menyatukan cinta mereka menjadi mahliga rumah tangga.
“Apa yang harus kita lakukan agar cinta kita dapat bersatu? Haruskah aku mempertaruhkan kenyakinanku dengan berpindah ke agamamu agar mendapat restu dari orang tuamu? Lalu, bagaiman dengan ibuku? Bukankah aku hanya akan menancapkan pisau ke perutnya?” tanya Wulan putus asa pada Darma. Mereka terdiam, terperangkap dalam pikiran mereka masing-masing. Hati mereka galau tercermin dari tirakat mereka yang tidak tenang. Wulan memainkan jemarinya. Bola matanya bergerak-gerak ke kanan-kiri. Dia memutar otak berpikir keras. Darma memerhatikan jemari Wulan dan wajah Wulan. Dia memahami kekalutan dalam diri kekasihnya.
“Apa kamu siap jika kita tetap menikah?” kata Darma yang mengagetkan Wulan. Wulan memandang Darma dengan tajam, mencari kebenaran dalam ucapannya. Tidak ada keraguan dalam mata Darma akan ucapannya.
“Kamu gila! Apa kamu ingin melihat ibu aku mati berdiri!” sergah Wulan
Makanya, aku tanya sama kamu. Apa kamu siap?” Wulan terdiam sesaat lalu Wulan berbalik bertanya pada Darma dengan pertanyaan yang sama. Darma hanya menggelengkan kepala.
“Aku juga tidak siap. Aku tidak ingin membuat ayah dan ibu marah dan sedih. Namun, aku juga tidak bisa meninggalkanmu,” jelas Darma kepada Wulan. Wulan terisak dalam pelukan Darma, melampiaskan luka dan beban dalam hati.
Wulan meminta waktu kepada Darma untuk berpikir. Darma menurut. Mereka tidak berkomunikasi dalam jangka yang tidak mereka tentukan. Semua dilakukan untuk berpikir dan mempersiapkan diri apabila mereka mengambil keputusan untuk tetap menikah.
Selama itu, ibu Wulan sering meminta Wulan menemaninya ke acara-acara gereja dan memperkenalkan Wulan dengan lelaki pilihannya. Mulai dari anak temannya hingga anak lelaki tetangganya. Tidak hanya itu, ibu Wulan selalu mengawasi Wulan. Semua dilakukan ibunya demi membuat Wulan tidak mengambil tindakan yang bodoh, yakni kawin lari dengan Darma.
Hati Wulan semakin dilema. Dia semakin sering datang ke gereja untuk berdoa dan bertemu Bapak dalam penebusan dosa. Dia curahkan segala beban yang menyesakan hatinya. Namun, Wulan masih galau. Tanpa sepengetahuan ibunya, Wulan mempelajari mengenai Islam. Dia membaca buku-buku mengenai Muhammad yang merupakan Nabi umat Islam. Wulan juga membaca buku-buku mengenai ajaran-ajaran Islam.
Sementara itu, pergolakan antara Darma dengan orang tuanya, terutama ibunya semakin sengit. Darma tidak habis piker mengapa orang tuanya begitu kolot. Darma masih belum bisa menerima penjelasan ayahnya mengenai larangan untuk tetap menikahi Wulan.
“Pokoknya, ayah tidak setuju kamu menikah dengan Wulan. Dia itu beda dengan kita. Dia nasrani!” bentak ayahnya.
“Apanya yang beda, Yah? Wulan juga manusia yang bertaqwa. Dia bertuhan. Sama kayak kita,” sergah Darma.
“Tapi Tuhan dia ma Tuhan beda! Tuhan kita Allah swt, sedangkan dia, Tuhannya Jesus. Kita gak kenal siapa itu Jesus yang ada tuh nabi Isa!”
“Apa artinya nama? Jika semua tetuju hanya satu, yakni Tuhan pencipta kita.” Darma menyanggah pernyataan ayahnya. Ayah Darma semakin amarah. Dia begitu geram mendengar perkataan Darma. Ayah Darma ingin sekali menghajar anaknya, tapi dia berusaha keras menahan keinginannya. Dia tahu dan sadar bahwa kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah. Darma bergegas pergi meninggalkan ayahnya yang masih melototinya. Dia membawa mobilnya melaju kencang menembus keramaian lalu lintas kota Jogya.
Darma memakirkan mobilnya di halaman rumah Ustad Ali, guru ngajinya. Melihat kedatangan Darma dengan wajah menekuk, Ustad Ali tahu bahwa muridnya sedang dalam masalah. Dia mempersilkan Darma masuk dan duduk di kursi ayaman bamboo yang diletakkan di beranda rumahnya. Tiidak lama, Ustazah Fatimah, istri Ustad Ali keluar menemui Darma.
“Eh Nak Darma. Pasti mau konsultasi sama Abi ya?” tanya Ustazah Fatimah. Ustazah Fatimah menyebut suaminya dengan sebutan Abi yang artinya ayah.
“Iya, ummi. Ada yang mau ditanyakan,” jawab Darma. Ummi merupakan sebutan sayang Darma kepada Ustazad Fatimah. Bagi Darma, Ustad Ali dan Ustazah Fatimah adalah orang tuanya setelah ayah dan ibu. Setiap ada masalah yang mengganggu pikirannya, Darma selalu datang menemui Abi dan Umminya ini untuk meminta bantuan memecahkan persoalannya. Abi dan Ummi juga telah mengganggap Darma adalah anaknya selain tiga anak kandungnya.
“Ya udah kamu ngobrol saja sama Abi. Ummi buatkan minuman biar ngobrolnya makin enak, ya?” Darma menganggukan kepala. Ummi masuk ke dalam rumah untuk membuat minuman. Dia sudah tahu bahwa mereka akan membicarakan hal serius dan, biasanya, memakan waktu lama.
Percakapan serius terjadi di antara Abi dan Ummi. Mereka terfokus dengan topik perbinacangan mereka. Tidak ada salah satu di antara yang lainnya memerhatikan sekitar mereka setelah Ummi datang menyuguhkan minuman. Ummi meninggalkan mereka agar tidak mengganggu mereka.
“Apa kamu yakin bisa membina rumah tangga dengan Wulan yang berbeda agama dengan kamu? Apa kamu yakin pengetahuan tentang agamamu sudah kamu kuasai?” tanya Ustad Ali yang menusuk sukma Darma. Darma hanya terdiam, tidak dapat menjawab. Dia tidak bisa mengatakan bahwa dia tidak yakin dirinya menguasai dan memahami agamanya.
“Pernikahan itu sesuatu hal yang sakral. Istri kelak akan menjadi sandaran bagimu dan kamu akan menjadi imam bagi istrimu. Kalau kamu saja tidak yakin dengan pengetahuan agamamu, bagaimana bisa kamu membina rumah tangga dengan Wulan nantinya? Pikirkanlah dengan hati dan pikiran yang jernih. Rumah tangga yang dibangun dari kenyakinan agama yang sama saja sulit apalagi yang beda?” Perkataan dan pertanyaan Ustad Ali menusuk ke dalam hati Darma. Semua yang Ustad katakan benar. Apa yang selama ini membuat dirinya yakin bahwa dia akan mampu membina rumah tangga dengan Wulan jika pengetahuan tentang agamanya saja dia tidak yakin telah mengusainya dengan baik. Darma merenung lama. Ustad Ali dapat melihat kegundahan masih ada di dalam hati Darma.
“Perbanyaklah salat Sunnah, terutama salat Tahajud dan Istikharah. Mintalah kepada Allah swt. hanya dia yang dapat membantu kamu.” Lanjut Ustad Ali mengakhiri perbicangan di antara mereka.
Sejak percakapan dirinya dengan Ustad Ali, Darma mempelajari kembali pengetahuan tentang agama. Dia juga menjadi rajin salat wajib dan sunnah. Darma mencari jawaban atas permasalahan hati yang sedang mengelimuti hati dan pikirannya. Melihat anak mereka menjadi saleh dan memperdalam ilmu agamanya, kedua orang tua Darma sangat senang dan lega. Mereka berpikir bahwa Darma telah memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan dengan Wulan. Akan tetapi, dugaan mereka salah.
Suatu malam, ayah darma bertanya kepada Darma apakah dirinya telah sadar jika menikah berbeda agama merupakan suatu kemustahilan. Namun, Darma mengatakan bahwa dirinya masih mencintai dan berharap dapat menikahi Wulan. Ayah Darma geram mendengar pernyataan Darma begitupulan Darma. Dengan perasaan yang kesal kepada ayahnya yang masih mempermasalahkan hubungannya dengan Wulan, Darma meninggalkan rumah. Darma mengendarai mobil dengan laju kencang. Amarah bergelora dalam hati Darma hingga dia lapas kendali mengendari mobilnya. Suara benturan terdengar keras. Orang-orang berdatangan untuk melihat apa yang telah terjadi. Kecelakan lalu lintas terjadi. Darma menabrak sebuah truk pembawa tangki BBM. Dia dilarikan ke rumah sakit terdekat. Keadaaan sangat parah. Banyak darah mengalir dari tubuhnya. Orang tua Darma dihubungi oleh suster dari kartu identitas yang ada di dompet di saku celana Darma. Dengan perasaan bercampur aduk, orang tua Darma datang ke rumah sakit untuk melihat kondisi Darma. Alangkah terkejutnya mereka setelah mengetahui kondisi Darma dari dokter.
Wulan melihat orang tua Darma di rumah sakit tempat sepupunya dirawat setelah bersalin. Wulan mendekati orang tua Darma yang tampak panik lalu diikuti oleh ibunya yang tidak dapat menghentikannya. Dia mendengar apa yang dikatakan dokter saat jarak antara Wulan dengan dokter dan orang tua Darma sudah dekat. Wulan kaget. Dia meminta dokter menerangkan lebih rinci kondisi Darma kepadanya. Orang tua Darma kaget melihat kemunculan Wulan dan ibunya di rumah sakit ini. Namun dipikiran mereka kali ini hanyalah keselamatan Darma.
Wulan menawarkan darahnya untuk diberikan kepada Darma. Ibu Wulan kaget dan melarang tindakan Wulan.
“Memangnya kenapa, Bu? Aku hanya ingin mendonorkan darahku untuk Darma. Kebetulan darahku dengan Darma sama. Kenapa ibu melarang aku?” tanya Wulan heran dengan sikap ibunya. “Jika ini hanya karena perbedaan agama antara aku dengan Darma, larangan ibu tidak akan aku turuti. Mengapa kita tidak boleh menolong orang yang dalam kondisi parah hanya karena dia berbeda kenyakinan dengan kita? Bukankah semua agama mengajarkan kita untuk menolong siapa pun tanpa pandang bulu, apakah dia kaya atau miskin, atau bahkan berbeda agama sekali pun?!” lanjut Wulan. Dia meninggalkan ibunya dan kedua orang Darma yang masih terpaku dengan ucapan Wulan. Wulan menuju ruang tranfusi darah bersama dokter yang menangani Darma.
 Dengan donor darah dari Wulan, Darma dapat terselamatkan. Orang tua Darma mengucapkan terima kasih kepada Wulan. Selama Darma dirawat di rumah sakit, Wulan datang menjenguk Darma hampir setiap hari. Wulan membantu kedua orang tua Darma menjaga dan merawat Darma. Melihat ketulusan cinta kasih Wulan, orang tua Darma luluh dan berubah pandangan mengenai Wulan dan kenyakinan yang dianutnya. “Apa pun yang dianut atau diyakininya, dia masih tetap manusia yang berperikemanusiaan,” kata ibu Darma yang disetujui oleh suaminya.
Dengan keuletan dan kesabaran Wulan beserta kedua orang tua Darma yang menjaga dan merawat Darma, kondisi Darma beranggsur sembuh. Suatu hari saat Wulan belum datang. Orang tua Darma menanyakan kapada Darma, apakah dirinya masih berharap dapat menikah dengan Wulan. Darma terdiam sesaat, tidak menyangka ayahnya akan berbicara mengenai hal ini lagi. “Iya, Yah. Apa ayah masih tidak menyetujui hubunganku dengan Wulan?”
“Ayah dan ibu sih terserah kamu, Nak. Walau berat hati ini, ayah dan ibu mengizinkan kamu dengan Wulan menikah. Bagaimana pun Wulan anak yang baik. Dia telah rela mendonorkan darahnya demi menolong nyawa kamu. Melihat cintanya yang tulus sama kamu, ayah tidak sampai hati memisahkan kalian.” Bagai melihat sinar di dalam kegelapan, ayahnya menyetujui hubungannya dengan Wulan. Dia menyakinkan kembali ayah dan ibunya perihal persetujuian mereka atas hubungannya dengan Wulan. Ayah dan ibu Darma mengangguk kepala mereka. Namun, Darma menangkap sorot mata sendu dan senyum getir di wajah mereka walau mereka telah memberi restu kepada Darma dan Wulan. Darma menyimpan kegundahannya itu dalam hatinya.
Melihat ketulusan dan kebahagian Wulan, ibu Wulan tidak sampai hati melarang Wulan untuk menjauhi Darma. Kini, ibu Wulan yakin bahwa cinta anaknya kepada Darma sangatlah besar. Dia tidak ingin melihat anaknya menderita. Ibu Wulan mendekati Wulan, merengkuh wajah dengan kedua tangannya. “Ibu tahu betapa kamu sangat mencintai Darma bahkan kamu rela mendonorkan sebagian darahmu demi menyelamtkannya. Ibu tidak ingin meihat kamu sedih dan murung lagi. Ibu hanya ingin melihat kamu bahagia dan ceria seperti dulu. Ibu tahu beberapa hari ini kamu telihat murung lantaran sikap ibu yang melarangmu berhubungan dengan Darma. Jika memang itu bisa membuat kamu bahagia, ibu mengizinkan kamu untuk menikah dengan Darma.” Wulan terpana dengan apa yang didengarnya. Ibu Wulan memeluk Wulan dan meninggalkan Wulan yang masih diam terpaku.
Setelah keluar dari rumah sakit dan beraktivitas kembali, Darma meminta Wulan untuk datang ke Gedung Kesenian Jogyakarta. Darma menyapukan pandangannya ke seluruh bagian dalam gedung itu. Dia memutar kembali ingatannya saat pertama kali bertemu dengan Wulan. Tidak terasa hampir lima tahun berlalu sejak peristiwa itu. Sosok Wulan muncul dari arah pintu masuk. Dengan perlahan, Wulan menuruni anak tangga untuk mendekati Darma yang berada di atas panggung. Lama mereka beradu tatapan. Tatapan penuh dengan banyak hal yang tidak sanggup diucapkan.
“Apa telah kamu pikirkan? Apakah kamu siap untuk menghadapi segala hal yang mungkin akan terjadi?” kata Darma memecahkan kehilangan yang berlangsung di ruang pementasan itu.
“Apa kamu juga sudah siap?” Wulan menanyakan kembali pertanyaan Darma setelah sesaat terdiam.
“Aku tidak tahu,” jawabnya
“Begitupula aku. Apakah kita yakin bisa menghadapi pergesekan yang lebih besar di masa mendatang?”
“bagaimana denganmu?” tanya Darma berbalik kepada Wulan.
“Jujur aku belum siap. Walau aku bahagia bersamamu, apakah kita pantas berbahagia di atas penderitaan orang-orang yang kita cintai?” Wulan memandang lekat mata Darma. Darma berbalas memandang tajam mata Wulan dengan tetap membisu.
“Aku tidak bisa melihat ibu dan kedua orang tuamu sedih karena kita. Walau dia telah memberi izin kepadaku untuk menikah dengamu, aku tahu hatinya tersanyat mengetahui anaknya menikah dengan orang yang berbeda kenyakinan dengan diri dan anaknya. Bagaimana denganmu?”
“Aku juga merasakan hal yang sama. Walau ayah dan ibu telah menzinkan aku menikahimu, aku menangkap kesedihan dan keperihan di sorot mata mereka.”
“Apakah ini baik untuk kita?” tanya Wulan kembali.
“Kita lihat saja nanti” jawab Darma. Wulan tertawa kecil mendengar jawaban Darma.
“Ya, hanya waktu yang dapat menjawab semuanya,” balas Wulan. Lalu mereka terdiam sesaat. Wulan mengedarkan pandangan dan menyadari tempat ini merupakan awal pertemuan mereka. Tempat dimana semua bermula. Dia mulai memutar kembali ingatannya dengan bercerita kepada Darma dengan sesekali timpalan penjelasan dari Darma.
Akhirnya, Wulan memperdalam ajaran agamanya dengan sering mengikuti kegiatan-kegiatan gereja bersama ibunya, sedangkan Darma memperdalam ilmu agamanya dengan belajar kepada Ustad Ali. Mereka berdua merasa hanya sedikit memahami ajaran agama mereka masing-masing. Mereka berdua juga memutuskan untuk mengakhiri hubungan cinta mereka. Ini merupakan yang terbaik bagi mereka berdua dan orang-orang yang mereka cintai. Wulan telah menuliskan memori tentang Darma dalam sebuah puisi. Dalam perpisahan itu, Wulan memberikan puisi tersebut kepada Darma dan pergi meninggalkan Darma dalam gelapnya malam di Gedung Kesenian Yogyakarta. Darma hanya dapat memandangi arah di mana sosok Wulan menghilang setelah membaca puisi tersebut.
Kita sebenarnya Satu
Terpaku dalam ruang dan waktu
Aku tersungkur dalam gelapnya dunia
Adakah yang dapat menolongku
Terlepas dari jerat atas nama

Apa bedanya aku dengan dia
Aku dan dia sama-sama manusia
Dan apa bedanya aku dengan dia
Jika kami sama-sama ber-Tuhan
Walau dengan nama yang berbeda.

Aku kamu sama
Kita sama-sama
yang disebut manusia.

Elegi Dua Hati


Dikirim ke sayembara cerpen dalam acara antologi Simposium Internasional Bahasa Indonesia pada bulan April. Yang sampai sekarang, hasil antologinya belum juga aku terima. Tidak ada kejelasan.


Karin terbujur lemah di atas tempat tidurnya. Selang insuf menancap mesra di tangannya yang kini tampak kurus. Selang pernafasan melingkar di rahangnya untuk membantunya bernafas. Monitor detak jantung terletak di samping tempat tidurnya yang tersambung dengan sepasang alat deteksi jantung yang menempel erat di dadanya. Kini, dia tampak bukan Karin yang selama ini aku kenal. Entah ke mana Karin, sahabatku itu.
Sudah sebulan ini, aku tidak lagi melihat senyum, canda, dan tawanya. Aku hanya melihat sosoknya yang terbaring di tempat tidur dengan mata terpenjam. Wajahnya yang selalu dihiasi senyum dan tawanya yang riang, kini tampak pucat dan tirus. Karin, kau terlihat begitu menderita. Betapa kejamnya penyakit yang menggerogotimu.
“Tante,” sapaku kepada wanita berwajah lesu yang duduk di samping Karin. Dia adalah ibu Karin, wanita kuat yang dengan sabar dan tegar menanti anaknya terbangun dari mimpi panjangnya.
“Gana. Kamu datang lagi untuk menjenguk Karin?” tanyanya yang terkejut dengan kedatanganku.
“Iya, Tante. Apa ada perkembangan tentang kondisi Karin, Tante?” Aku memandang wajah Karin yang masih tertidur. Tante Margaret hanya menggelengkan kepala pelan. Kesedihan terpancar dari wajahnya yang sayup karena kurang istirahat.
“Duduklah, Gan. Ajaklah Karin bercakap-cakap. Tante keluar sebentar membeli makanan. Apa kamu sudah makan?”
“ Sudah, Tan. Tante makan saja biar saya yang menjaga Karin selama Tante keluar,” kataku.
Tante Margaret mengangguk, kemudian melihat Karin sejenak sebelum meninggalkan kamar. Aku menaruh pohon hias kaktus kecil di sudut jendela kamar. Tanaman yang sangat disukai Karin. Aku menatap keluar jendela dan melihat hamparan lukisan bumi di luar kamar ini. Langit mendung seakan menahan lara. Kubuka jendela sedikit dan aku biarkan angin menyapu wajahku.
Aku memandang Karin. Dia masih saja terpenjam, tidak mengacuhkanku. Aku mendekati dan duduk di sampingnya. Lekat, aku memandang wajahnya.  Wanita yang telah menjadi sahabatku sejak duduk di bangku kelas dua Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga universitas masih tetap tidak acuh dengan orang-orang yang datang menjenguknya.
“Tuhan, mengapa semua jadi begini? Dapatkah aku melihat senyumnya kembali?” tanyaku pada diri sendiri. Aku masih memandang wajahnya, berharap dia bangun dari tidur panjangnya.
Aku mengeluarkan sepasang amplop putih panjang dari saku jaketku. “Karin. Hari ini, surat pengumuman penerimaan beasiswa ke Paris telah sampai. Apa kamu tidak ingin tahu apa isi suratnya?” tanyaku pada Karin seakan-akan dia telah sadar dan sedang mendengarkanku. Aku tunjukkan surat itu. Surat berupa amplop putih panjang di tanganku. Tanganku yang lain memegang dan menggenggam jemari Karin. Berharap, ada respon darinya.  
“Akhirnya, setelah menunggu empat bulan. Aku lulus seleksi. Aku mendapatkan beasiswa itu, Karin. Aku tidak mengira kalau aku lulus seleksi. Semua berkat kamu. Apa kamu senang mendengar kabar ini?” tanyaku yang tidak mendapat tanggapan darinya. “Apa kamu tahu, Karin? Ada satu surat lagi yang dikirim bersama suratku. Surat itu untukmu. Kamu juga lulus seleksi. Apa kamu dengar aku?” lanjutku. Aku menghembuskan nafas karena masih tidak ada tanggapan dari Karin.
Aku mengalihkan pandangan ke langit mendung di luar. Memutar kembali ingatanku akan peristiwa yang telah terjadi. Peristiwa di mana canda, tawa dan senyum menghiasi hari-hari aku dengan Karin berubah menjadi kesedihan.
***
Aku dan Karin telah lama berteman sejak kelas dua SMP. Aku masih ingat saat pertama kali berjumpa dengannya. Karin selalu duduk di bagian belakang kelas. Dia tidak pernah berubah hingga jenjang kuliah. Walau begitu, prestasinya terdepan. Aku tidak ingin kalah darinya.
Hubungan kami sangat dekat hingga kami dijuluki amplop dan perangko. Kebersamaan di antara kami menimbulkan suatu perasaan padaku. Namun, Karin mencintai pria lain. Anggara adalah pria yang dicintai Karin sejak awal kuliah. Aku memilih memendam perasaanku. Aku tidak ingin melihat Karin menderita harus memilih antara aku atau Anggara. Aku juga tidak ingin persahabatan antara kami menjadi hancur hanya karena hal itu.
Namun, aku tidak melihat kebahagiaan di wajah Karin. Karin berubah menjadi pendiam dan pemurung. Tidak hanya saat itu, aku sering melihatnya dalam keadaan berantakan. Suatu hari, dia datang ke kosanku. Wajahnya sendu, seperti menahan beban yang berat.
 Aku tidak tahu apa yang telah terjadi padanya. Aku berusaha menanyakan apa yang terjadi padanya, tetapi dia hanya menangis. Aku bertanya lagi saat Karin sudah berhenti menangis. Aku terkejut dengan apa yang dia katakan. Karin baru saja dipukuli oleh ayahnya. Sejak kapan, ayah Karin yang aku kenal baik, ramah, dan lembut berubah menjadi sesosok yang mengerikan. Sulit untuk percaya atas apa yang Karin katakan.
Tidak sengaja aku memegang bahunya. Sontak Karin mengaduh dan berusaha menjauhkan bahunya dariku. Aku curiga. Aku dekati dia, berusaha mencari jawaban atas kecurigaanku. Aku tarik tangannya dan menggulung lengan bajunya. Luka-luka memar menghiasi lengannya. Aku kaget bukan kepalang. Tidak hanya di lengannya, ia memberitahuku masih ada luka memar di bagian tubuhnya yang lain. Pikiranku masih dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang masih belum bisa aku temukan jawabannya.
Karin menceritakan lebih jelas atas apa yang telah menimpanya. Dia bercerita bahwa sejak masuk kuliah, orang tuanya sering bertengkar.  Ayahnya berubah sikap. Dia menjadi pemarah semenjak di-PHK, sedangkan ibu Karin naik jabatan menjadi direktur di perusahaan, tempat ibunya bekerja. Ayahnya tidak segan-segan memukul ibu Karin saat marah. Bahkan, Karin juga mengalami kekerasan tanpa sepengetahuan sang ibu. Terlebih lagi, setelah ibunya mengajukkan permohonan perceraian ke lembaga agama dan hukum.
Aku tidak mengira selama ini dia menanggung beban seberat itu. Karin merahasiakan hal ini dari siapa pun. Sikapnya yang tiba-tiba menjadi pemuruh merupakan cerminan dari luka di hatinya atas pertikaian orang tuanya. Luka-luka itu juga merupakan saksi bisu dari kekerasan yang diterimanya.
 Ke mana saja aku selama ini. Saat sahabat sekaligus orang yang aku cintai menderita, aku tidak mengetahuinya. Aku menjaga jarak darinya sejak dia berpacaran dengan Anggara yang saat ini tidak tahu di mana keberadaannya. Aku dengar gosip yang beredar di kampus bahwa Anggara dan Karin telah putus lantaran Anggara selingkuh dengan mahasiswi kampus lain. Karin menceritakan semua segala beban yang selama ini dia pendam kepadaku.
Esok harinya, aku tidak menemukan Karin. Ini membingungkanku. Semalam, Karin tetap bersikeras untuk pulang. Aku mengantar Karin sampai ke rumahnya. Rumahnya sunyi. Aku enggan meninggalkan tempat itu, tetapi Karin menyakinkanku bahwa ia akan baik-baik saja. Kini, ia tidak tampak di kampus. Aku sudah mencarinya ke sudut-sudut kampus, tetapi nihil. Aku putuskan untuk ke rumahnya, berharap ia ada di sana.
Kesunyian dan kehampaan melingkupi rumah Karin. Rumah ini serasa berbeda saat aku kunjungi sewaktu Sekolah Menengah Atas (SMA). Aku mengetuk pintu, tidak ada tanggapan. Aku berusaha melihat ke dalam, kosong. Aku ketuk kembali, tetapi tetap sunyi. Kupegang gagang pintu, berharap pintu tidak dikunci. Ternyata benar, pintu tidak dikunci. Aku melangkah masuk dengan hati-hati. Kulihat ruang tamu yang lenggang. Aku memanggil-manggil Karin sambil tetapi melangkah masuk ke ruang tengah.
Aku melihat sosok manusia terbujur di dekat pintu dengan pecahan kaca berhamburan di sekitar sosok tersebut. Aku mendekati, berusaha mengetahui sosok itu. Aku tersontak. Sosok itu tidak lain adalah Karin. Kepalanya berdarah. Aku berusaha membangunkannya, tapi tidak ada sahutan. Aku angkat tubuhnya dengan bergegas untuk di bawa ke rumah sakit. Tiba-tiba, aku dikagetkan dengan jeritan seorang wanita yang bertemu dengan kami di depan pagar rumah. Tante Margaret, ibu Karin, mematung di depan kami. Dia terpaku memandang Karin yang ada di dalam gendonganku. Aku menyadarkannya untuk bergegas membawa Karin ke rumah sakit. Seperti dihentakan ke bumi setelah terlempar ke langit, bersamaku dia membawa Karin ke rumah sakit.
Dokter membawa Karin ke ruang UGD. Aku dan Tante menunggu di luar ruangan UGD. Kami terdiam, tapi aku tahu betapa gelisahnya Tante Margaret. Aku lihat dia meremas-remas jemarinya sambil menunggu kabar dari dokter. Cukup lama kami terdiam hingga Tante memulai cerita. Tante bercerita tidak jauh berbeda dengan apa yang telah Karin ceritakan padaku.
“Tadi malam, kami bertengkar hebat. Karin berusaha melerai kami. Tapi, Om sangat marah, ia sudah kalap. Aku menyelematkan diri dengan lari dari rumah saat ada kesempatan. Aku tidak menyangka kalau ternyata Karin menjadi lampiasan kemarahan dan amukan ayahnya. Aku merasa bersalah. Andai aku tidak pergi dari rumah, Karin tidak akan seperti ini. Biar aku saja yang mengalami ini. Biar aku saja yang mati,” jelasnya sambil terisak, tak hentinya menangis.
***
Aku menghembuskan nafas. Hujan turun membasahi bumi dan kaca jendela kamar inap Karin. Hujan ini melambangkan luka dan duka di hatiku. Sudah satu bulan peristiwa itu berlalu. Karin belum juga sadar dari koma. Aku tidak tahu kabar pasti tentang ayah Karin. Tante Margaret bilang padaku bahwa dia telah melaporkan apa yang menimpa Karin kepada polisi.
 Entah kapan aku dapat melihat Karin menatapku sambil tersenyum atau tertawa lagi. Aku terus menanti saat itu terjadi, tapi wajah pucat dengan mata terpenjam yang selalu aku temui. Aku merindukanmu, Karin. Aku tidak bisa tanpa melihatmu. Aku tidak bisa meninggalkanmu sendiri. Cukup saat aku meninggalkanmu, aku melihatmu dalam keadaan yang mengerikan. Nyawamu hampir melayang. Aku hampir kehilanganmu walau kini aku kehilangan senyumanmu. Beasiswa itu, aku tidak tahu harus bagaimana. Karin, aku mohon bangunlah.
Jari Karin bergerak. Aku yakin sesaat aku merasakan ada gerakan di jarinya. Aku menatap jarinya, menyakinkan diri akan perasaanku. Jari Karin bergerak perlahan diikuti dengan kelopak matanya yang membuka perlahan. Aku menyaksikan kebangkitan Karin. Dengan perlahan, dia membuka matanya dan menatapku. Karin sadar dari tidur panjangnya.
***
Hamparan rumput yang menutupi tanah sekitar area pemakaman bergoyang perlahan dipermainkan angin yang bertiup pelan. Sunyi, tidak ada satu pun di antara kami yang berbicara. Semua menangis dalam diam mengiringi kepergian Karin begitupula angin ini. Angin sepoi-sepoi kesukaannya bertiup perlahan membelai setiap orang yang datang ke pemakamannya. Air mataku mengalir perlahan di pipiku. Aku tidak sanggup menahan alirannya. Rasa sedih menyelimuti hatiku. Penantian panjang. Usai sudah. Mungkin, ini yang terbaik untuk Karin dan mungkin untukku juga.
Karin sempat sadar dari koma. Dia membukakan matanya, memandangku dalam keheningan yang cukup lama. Lalu, dia tersenyum padaku. Gana. Hanya itu yang dia ucapkan sambil tersenyum kembali kepadaku. Manis sekali, senyum yang aku rindukan itu kini dapat aku lihat lagi. Namun, Karin memenjamkan matanya kembali. Monitor deteksi detak jantung berbunyi melengking. Garis kurva berganti dengan garis lurus menghiasi monitor. Aku mematung melihat semua itu. Senyumku telah hilang berganti dengan aura cemas. Bergegas, aku memanggil dokter. Tidak lama, dokter datang bersama Tante Margaret yang terlihat panik. Dokter menyuruh kami menunggu di luar. Aku menenangkan Tante Margaret dan berusaha bersikap tenang walau hatiku sangat gundah. Dokter keluar dari kamar Karin. Wajahnya sendu. Dokter mengatakan pada kami bahwa Karin tidak dapat diselamatkan. Dia telah pergi untuk selamanya.
Sulit untukku menerima kenyataan pahit ini. Sahabatku yang sangat kucintai telah pergi untuk selamanya. Surat penerimaan beasiswa untuknya, aku simpan sebagai kenangan atas dirinya. Aku tidak akan melupakanmu, Karin. Aku akan meneruskan cita-cita yang pernah kita rangkai. Aku akan wujudkan agar kamu dapat tersenyum melihatku mewujudkan cita-cita kita dari atas langit. Sahabatku tersayang, Karin. Kamu akan selalu hidup dalam hatiku.

Sabtu, 15 Oktober 2011

Untuk apa aku hidup?

Pikiran ini kembali lagi terlintas dalam benakku.
Untuk apa sebenarnya aku hidup di dunia ini? banyak jawaban yang telah diberikan kepadaku. Mulai dari yang gak penting hingga spiritualis. Namun, belum ada jawaban yang membuat benak ini berhenti bertanya. Jawaban spiritualis mengatakan bahwa tujuan aku hidup adalah pembuktian atas apa yang telah kita janjikan kepada Allah swt. Allah swt. pernah bertanya kepada setiap hambanya di alam Arsy "apakah kaum beriman kepada-Ku?". Semua hamba yang ditanya-Nya mengatakan "ya." Allah swt "tidak sepenuhnya percaya" dengan ucapan hambanya. Kemudian, Dia mengirimkan semua hamba-Nya yang telah ditanyakan ke dunia. Di dunia, ucapan mereka diuji. Apakah ucapan terdahulu hanya kiasan semata karena mereka (hamba Allah swt) belum merasakan "dasyatnya" dunia. dalam dunia inilah, manusia diuji dengan berbagai godaan dan perkara hanya untuk sebuah "pengujian dan pembuktian". Hal inilah yang aku peroleh dari sudut pandang religius.


Aku adalah manusia. Makhluk ciptaan Allah swt. Aku beragama Islam, setidaknya begitulah yang tertera dalam KTP-ku. Namun, aku masih ragu dengan kenyakinanku. Bukan dalam ketidakyakinan kepada penciptaku, tapi lebih kepada makna hidupku. Sebenarnya, aku hidup untuk apa dan siapa?

Ini berawal dari pengamatanku. Melihat semua cipataan Allah swt. dengan begitu "santai dan damai" menjalini hidupnya dengan sesuatu yang, katanya, dilarang Allah swt.
Aku belum juga memahami dunia ini, tempat di mana aku lahir, tumbuh, dan mati nantinya.
Dunia ini misterius. Semakin aku berusaha memahaminya aku semakin bingung dan tak mengerti.
Selalu terlintas dalam benakku, akan jadi apa kamu nanti saat dewasa? pekerjaan apa yang akan kamu dapatkan setelah lulus kuliah? Lalu, untuk apa pengajaran Islam itu jika manusia yang belajar agama itu bertingkah dan berperilaku tidak sesuai dengan yang diajarkan. Lalu, kembali lagi ke pertanyaan penting dari semua ini. untuk apa aku hidup? dan kapan semua derita dan keanehan ini berakhir? Sesuatu apa yang dapat dikatakan bahwa kita telah sampai pada tujuan tersebut?

Kamis, 21 Juli 2011

Apa ini?

Apa ini? kenapa dia berpikir seperti itu? apa yang membuatnya ragu dengan pernikahan?
Aku juga tidak memusingkan pernikahan, tapi aku tidak bisa menafikan rasa cinta yang membuat orang yang merasakannya bahagia dan senang. Aku merasakan kebahagiaan itu. Namun, aku tidak bisa mempertanyakan kepada diriku, apakah aku betul-betul menginginkan pernikahan? Aku tidak tahu apa yang membuatmu bertanya seperti itu? mempertanyakan dirimu sendiri tentang kebutuhanmu akan pernikahan. Kenapa pertanyaan itu terbelsit di kepalamu setelah kau menonton sebuah film? Apakah dengan tanpa kau menonton film itu sebenarnya kau juga tidak yakin dengan pernikahan?
Kenapa kau bertanya seperti itu? Ini membuatku terkejut. Aku... walau aku tidak terlalu peduli dengan pernikahan, tetapi aku tidak mempertanyakan pernikahan apakah niscaya membawa kebahagian. Aku yakin semua di dunia tidak selamanya dalam keadaan bahagia ataupun sedih. Apakah dengan kau tidak menikah lantas kebahagian akan senantiasa kau rasakan? dan apakah dengan menikah kau akan senantiasa menderita? Katakan padaku apa jawabanmu!
Padahal, aku berharap kelak kau akan menikah denganku. Namun, kenapa kau malah mempertanyakan pernikahan? Aku berharap dan berdoa untukmu agar Tuhan memberi pencerahan pada hatimu, melepas semua keraguan akan baiknya pernikahan. Aku mencintaimu dan berharap kelak aku dapat menikah denganmu. Namun, setelah membaca tulisanmu, aku sedikit demi sedikit mengetahui seperti apa dirimu sebenarnya.
Akankah kau mau memberi tahu kepadaku, seperti apa kau ini?

Selasa, 19 Juli 2011

Jejak-Jejak Kecil Itu Kini Telah Berubah

Aku masih ingat betapa kita dulu sering bersama, bercanda, tertawa, bekelahi, dan merangkai cita-cita dalam ocehan yang keluar dari mulut-mulut kecil kita. Aku masih ingat betapa dulu jejak-jejak kaki kecil terukir dalam sejarah hidupku. Aku pun masih ingat betapa banyaknya hal konyol yang sering kita lakukan bersama.
Kini, jejak-jejak kaki kecil telah berubah menjadi jejak langkah kaki yang besar dan semakin dalam terpantri dalam sejarah hidupku. Pemilik kaki itu telah berevolusi, tumbuh menjadi manusia dengan impian, ambisi, dan harapan yang semakin besar.Jejak-jejak kaki itu tidak lagi bersama. Jejak itu telah menuju jalan impian masing-masing untuk dapat mewujudkannya menjadi kenyataan.
Jejak itu adalah kalian, teman-temanku. Teman yang menghiasi warna kehidupanku. Tawa, tangis, marah, berbaur dalam memoriku. Masih ingatkah kalian, saat kita bersama? bersama dalam tawa? bersama dalam duka? dan bersama dalam merajut impian-impian kita. Aku masih ingat, kawan. Saat-saat, kita menghabiskan waktu bersama. Lukisan itu terekam jelas dalam memoriku. Walau raga akan menua nantinya, walau nanti kita tidak lagi mengenal satu dengan yang lain karena wajah kita telah berubah tua dan rambut memutih, tetapi kisah itu terangkai dan terekam dalam sejarah hidupku. Kisah itu tidak akan pernah berubah karena waktu telah mengukirkan dengan tinta mas yang mengkilap indah.
Kawan, bila suatu waktu kita dapat berkumpul kembali, aku dapat membayangkan apa yang akan kita lakukan saat itu. Ya, pasti saat itu, kita akan memutar kembali memori-memori saat kita bersama. Walau kini, kalian berjalan di jalan impian kalian masing-masing. Ingatlah, kawan, kita masih terhubung dengan ikatan memori di kala jejak kaki itu masih kecil.

Jumat, 08 Juli 2011

Memori Simposium Internasional Bahasa Indonesia di Jogya

5 Mei 2011
Pengalaman menarik terjadi saat ke Jogya dalam ajang mengikuti Simposium Internasional. Aku bersama dengan 3 temanku ditinggal oleh ketua kelompok kami secara tidak sengaja, parah. Padahal kamilah yang menunggu ketua kami yang datang terlambat. Dengan santainya, dia sms kami kalau dia sudah naik KRL ke ekonomi ke st. Tebet.. gubrak. Tanpa berpikir terlalu lama, kami (yang ditinggalnya) langsung menukar tiket kami dengan KRL ekspres ke berhenti di st. Tebet.. 5 menit kemudian, kereta datang dan kami menyusul ketua kami. Sesampainya di st. Tebet, kami tidak mencari ketua kami, masyaAllah tu orang nunggu kami di mana kok dicari-cari gak ada?? ternyata dia menunggu kami di bawah pohon di tempat yang gelap, bussyeett dahh.. pantesan kami gak nemuin dia, *geleng2.
Perjalanan dilanjutkan menuju st. Jatinegara diiringi tawa dan canda yang membahana di dalam angkot 44. Karena bercanda dan tertawa mulu, kami hampir saja keblabasan. Gubrak, jangan lagi2 dah...
Satu jam lebih kami menunggu, kereta kami datang, akhirnyaaa.. Perjalanan kami dihiasi dengan berbagai macam perasaan dari rasa senang, terkejut, sedih, marah, tak abis pikir, dan kecewa.
Ternyata, rasa ini berlanjut sesampainya dan selama kami di Jogya. Terus terang, kami kecewa dengan acara tersebut. Itu bukan sebuah simposium tp seminar saja. Sudah begitu materi yang menjadi bahasan tidak menambah wawasan kami, hanya mengulang apa yang telah kami pelajari. Terlebih lagi, pemenang kompetisi makalah adalah seorang plagiator. 80%  isi makalah pemenang makalah adalah kutipan dari internet. Orang tersebut tidak mencantumkan kutipan pada makalah tersebut bahkan internet yang menjadi rujukannya berasal dari alamat atau situs yang tidak bisa dijadikan acuan, yakni wikipedia.. hahaha *senyum sinis dan geli. Kami telah melakukan protes kepada pihak panitia dan penyelenggara. Akan tetapi, kritikan kami diabaikan. Alhasil,selama 3 hari kami menyimpan perasaan kesal dan marah. Tentu saja tidak kami tunjukan karena kami harus menjaga perilaku kami sebagai delegasi dari UI walau sebenarnyaingin sekali aku dan teman2ku menunjukkan kekecewaan kami.
Alhasil, kami baru bisa melampiaskan amarah kami saat di bis dalam perjalanan pulang ke Depok.. huh!